Tidak dapat kita pungkiri, budaya
korupsi telah mengakar dalam masyarakat kita. Menurun dari generasi ke generasi.
Kalau kita mengingat kecaman Allah swt, dalam suatu hadist shahih dari riwayat
Ahmad, sebagai berikut:
لَعَن الّٰلهُ الرَّاشِيَ وَاْلمُرْ تَشِيَ (رواه ِاحمد)
“Allah swt mengutuk/ melaknat penyuap dan orang yang disuap”. (HR. Ahmad)
Berdasarkan hadits di atas, seharusnya
secara otomatis kita sebagai muslim yang taat pada aturan Islam, merasa takut akan laknat Allah swt daripada membenamkan
diri dalam kenikmatan sesaat yang akan kita peroleh nanti ketika kita korupsi. Takut atau خوف ini hendaknya menjadi landasan utama
kenapa seorang muslim anti korupsi. Biar bagaimanapun juga ahzab Allah swt
tetap lebih pedih. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam
surat Hijr: 50, sebagai berikut:
“Dan bahwa Sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih”. (Hijr: 50)
Saking pedihnya kenikmatan yang kita rasakan bahkan tidak sebanding dengan ahzab Allah yang maha dahsyat. Dengan kata lain, proporsi perbandingan ahzab Allah dengan kenikmatan duniawi hasil korupsi tetap akan lebih besar ahzab Allah swt. Jadi, jangan pernah korupsi jika anda ingat murka Allah swt lebih besar daripada kenikmatan korupsi yang bersifat duniwi dan sementara.
وَأَنَّ عَذَابِى
هُوَاْلعَذَابُ اْلأَلِيْمُ (٥٠: الِحجْرُ)
“Dan bahwa Sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih”. (Hijr: 50)
Saking pedihnya kenikmatan yang kita rasakan bahkan tidak sebanding dengan ahzab Allah yang maha dahsyat. Dengan kata lain, proporsi perbandingan ahzab Allah dengan kenikmatan duniawi hasil korupsi tetap akan lebih besar ahzab Allah swt. Jadi, jangan pernah korupsi jika anda ingat murka Allah swt lebih besar daripada kenikmatan korupsi yang bersifat duniwi dan sementara.
Permasalahannya, jika korupsi itu
sudah terjadi di masyarakat, dan kita berhadapan dengan tindak korupsi itu
sendiri, lalu apa yang harus kita lakukan? Solusinya kita kembali kepada Hadits
Rasulullah saja. Karena barang siapa yang berpegang teguh pada Al qur’an dan
Hadits, janji Nabi Muhammad saw, bahwa orang tersebut tidak akan tersesat (fii
diin wa dunya wal akhirat, tentunya). Dan hadits ini diriwayatkan oleh
Muslim, sebagai berikut:
مَنْ رَاٰى مِنْكُمْ مُنْكَرًافَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ،
فَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ.
وَذٰلِكَ أَضْعَفُ اْلاِيْمَابِ
(رواه مسلم)
Menurut hadits tersebut di atas, menurut penulis jika ada
celah korupsi di lingkungan kita, sebagai seorang aswaja (ahlussunah wal jamaah) berarti kita harus mempersempit
ruang korupsi melalui kekuasaan, kedudukan, jabatan, pekerjaan, baik di
institusi pemerintah maupun swasta, melalui lisan maupun tulisan. Pada intinya,
dimanapun juga tindakan korupsi harus diminimalkan, seandainya bisa dihapuskan-dimusnahkan
dari muka bumi ini.
Kita semua memiliki harapan besar kepada generasi aswaja
untuk tidak pernah melakukan korupsi (meski secuil), hal ini sebagai tindak
lanjut rasa takut kita kepada Allah swt yang menurunkan ahzab yang begitu
pedih. Jadi, takutlah pada ahzab Allah swt, jangan takut sama penguasa dunia. Jangan terjebak pada kekuasaan, kedudukan, jabatan, pekerjaan, popularitas yang membuat kita tergiur duniawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan komentar anda dengan sejujurnya dan tanpa paksaan dari siapapun, tidak mengandung unsur SARA, PORNOGRAFI, PORNOAKSI, hal ini demi perbaikan yang konstruktif-transformatif MASTERPENDIDIKAN.BLOGSPOT.COM. Terima kasih!